Setelah menyaksikan film dokumenter Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN), salah satu kesimpulan saya, diantara kesimpulan-kesimpulan yang lain adalah, kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara bukan hanya memiliki hubungan, relasi dan kerjasama ekonomi, dakwah dan militer dengan kekhilafahan sejak Khulafaur Rasyidin, kemudian Bani Umayyah, Bani Abbasiyah hingga Turki Utsmaniyah, tetapi, lebih jauh dari itu, Nusantara ini diislamkan oleh kekhilfahan Islam dengan fasilitas kekuasaan yang mereka miliki sebagai superpower saat itu dan pasukan ulamanya yang berpengaruh.
Lain kata, Nusantara hingga hari ini, dan kita semua hingga sekarang, mungkin masih beragama Hindu atau Kristen yang dibawa dan ditanamkan oleh kolonial selama dua abad, bila khilafah Islamiyah tidak mengirimkan ulama-ulama utusannya berdakwah ke Nusantara yang dimulai dengan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik di Jawa Timur abad ke-14.
Membaca jejak khilafah di Nusantara sebenarnya adalah jejak bersyukur yang harus dilakukan bangsa Indonesia menjadi Muslim dan Islam menjadi mayoritas di negeri ini. Keimanan kita telah diselamatkan oleh Allah melalui khilafah Islamiyah yang mengutus para ulamanya ke negeri-negeri jauh termasuk ke negeri kepulauan bernama Nusantara.
Jadi, bila kita sekarang berbalik, jadi khawatir dan ketakutan kepada khilafah Islamiyah bahkan alergi mendengarnya, itu sebenarnya kita menolak, anti dan membenci para ulama awal yang sangat berjasa yang telah menyebabkan kita menjadi Muslim, memeluk agama yang benar. Kita menolak fakta sejarah yang membuat kita menerima hidayah dan iman kepada Allah SWT. Lucu? Tentu saja. Ironis? Sangat!!
Mengapa bisa begitu?
Wajar. Itu karena ketidaktahuannya dan lemahnya penghayatan sejarah. Menolak dan takut itu, teori psikologinya, karena ketidaktahuan (ignorance). Apakah mereka salah? Tidak juga. Penjelasan sosiologis-historisnya, itu menunjukkan pengaruh Barat sudah sangat kuat berakar di negeri ini mempengaruhi alam pikiran sejak era kolonial hingga sekarang (4 abad) yang berlangsung di bawah sadar.
Wajar bila sebagian masyarakat Muslim Indonesia sekarang, tanpa sadar, sudah 𝙬𝙚𝙨𝙩𝙚𝙧𝙣𝙞𝙯𝙚𝙙 (terbaratkan) bahkan 𝙬𝙚𝙨𝙩𝙤𝙭𝙞𝙘𝙖𝙩𝙚𝙙 (teracuni alam pikiran Barat) dengan takut, menolak dan alergi dengan sesuatu yang berasal dari ajaran agamanya sendiri, dari khazanah peradabannya sendiri, dari sejarahnya sendiri yang disebut Islamo-phobia.
Kalau tak setuju implementasi ajaran Islam di sebuah ruang dan waktu dengan argumen yang rasional, misalnya karena soal waktu, momentum dan sikon yang tidak pas, akan kontraproduktif dengan yang sudah terbangun positif, itu wajar dan biasa, bisa diterima. Tapi kalau sudah anti, membenci, alergi apalagi memerangi sesuatu yang berasal dari Islam sebagai agama yang benar, hudan linnaas, la rayba fihi, maka secara sosiologis itu westernized, secara perang pemikiran itu adalah westoxicated, secara logika itu ironis, secara psikologis itu sakit jiwa.
Orang yang mengalami pertentangan antara keberimanan dengan ketidakmenerimaan atau ketaatan, itu sakit secara psikologis. Iman kepada Islam tapi membenci ajarannya.
Itu semua disebabkan karena selama 400 tahun, kesadaran dan kemajuan Barat telah mempengaruhi alam pikiran masyarakat Indonesia dan menjadikannya sebagai model ideal yang terbaik yang memuncak pasca kemerdekaan hingga sekarang. Dalam konteks demokrasi, Francis Fukuyama menyebutnya sebagai "the end of history." Tak akan ada lagi model masyarakat lain sampai dunia ini berakhir. Demokrasi liberal adalah akhir sejarah.
Namun demikian, kembali ke sejarah Islam Nusantara, ketakutan dan kebencian masyarakat Muslim pada karuhunnya sendiri (khilafah) itu harus diterima dengan lapang dada dan dimaklumi tanpa amarah apalagi kebencian karena itulah tugas dakwah. Itulah lahan ibadah untuk membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin, sebagaimana yang sudah dibuktikan oleh para ulama utusan khilafah Islamiyah zaman lampau alias walisongo yang sudah mengislamkan negeri ini, menyiramkan hidayah dan ajaran keselamatan.
Bila, seandainya, ditanyakan kepada Walisongo sebagai para ulama awal penyebar Islam di Nusantara tentang fenomena sebagian generasi sekarang yang alergi khilafah yang mereka menjadi Muslim itu justru atas rintisan dan jasa mereka, sambil duduk santai dan ngopdud di bilik pesantrennya, mungkin, parawali itu akan menjawab dengan air muka yang sedih: "Yaa ... mereka generasi kualat yang membuat negerimu kini jauh dari keberkahan."
Wallahu a'lam.
(Oleh: Moeflich Hasbullah)
Judul tulisan oleh penulis
Post a Comment
Post a Comment