Namun apa jadinya jika nasehat atau kritik yang dilayangkan itu dilakukan terus menerus, saban hari? Hari-hari hanya fokus mengkritik kesalahan orang. Bahkan kritik bukan lagi menasehati tapi berubah menjadi ajang pembalasan, candaan dan olok-olok.
Adalah Salafi atau yang tak lazim disebut Wahabi, memang paling sering dipermasalahkan dalam tubuh ummat Islam. Dengan jargon Kembali kepada Quran dan Sunnah yang sering membuat gerah orang-orang Islam yang selama ini tidak sepemahaman atau yang beramal tidak berdasarkan tuntunan agama.
Kaum Salafi memang banyak tidak disukai orang, bukan hanya dari orang-orang munafik atau orang-orang kafir tapi juga dikalangan ummat Islam garis lurusnya sendiri. Mulai dari NU, Muhammadiyah, HTI, JT, IM, Tharikat Sufi, dan lainnya. Bahkan dikalangan NU baik yang lurus mau pun yang bengkok, Salafy itu dianggap musuh ummat Islam, sejajar dengan Yahudi, Innalillahi. Semua sepakat kalau Salafi (terutama yang taat kepada ulil amri) adalah benalu dalam keharmonisan / keberagaman ummat Islam.
Sebagian Salafi yang berfaham moderat (garis lurus) juga berselisih faham kepada jamaah Salafi yang loyal kepada ulil amri ini. Salafy memang terbagi dari beberapa varian/keyakinan. Di mata orang awam, Salafy garis bengkok itu adalah Salafy pro ulil amri, yang katanya hanya sibuk kepada ilmu, cuek kepada politik dan taat buta kepada penguasa. Sedangkan Salafy garis lurus adalah Salafy yang toleran, merangkul sesama saudara seiman, tidak mendukung penguasa zhalim, melek politik, serta mendukung kritik dan demonstrasi. Padahal belum tentu ini benar. Banyak Salafy garis lurus dari kalangan pro ulil amri yang bersikap hikmah dan merangkul sesama saudara seiman.
Salafi itu kaku, keras, tidak hikmah, pemegang kunci Syurga, pendukung penguasa sekuler zhalim, takfiri, murjiah, anti mazhab dan seabreg stigma jelek yang ditujukan kepada mereka. Di medsos (FB) di dunianya para aktifis Muslim, sudah tak heran kalau Salafi menjadi trending topik, bulan-bulanan kritik bahkan menjadi olok-olok. Banyak akun-akun para pengkritik dari kalangan Muslim garis bengkok maupun garis lurus, semuanya membully Salafi.
Sedikit saja ustadz-ustadz Salafy keliru dalam berfatwa/berdakwah, langsung menjadi sasaran pembuliyan baik dari yang garis lurus maupun bengkok.
Diantara para pengkritik, ada yang tiap hari dalam status medsosnya mengghibah kesalahan Salafy, ada yang sekali-sekali tapi kontinu. Diantara mereka pun ada yang moderat, ada yang ghuluw. Yang moderat mengkritik dengan ilmiyah, sedangkan yang ghuluw mengritik dengan mengolok-olok. Intinya tiada hari tanpa membahas kesalahan Salafy.
Apalagi didukung oleh dari tim pemandu sorak (pendukung fanatik buta) dari kalangan moderat tadi. Maka makin ramailah perdebatan dengan lisan yang tak berakhlak. Kritik yang sedianya menasehati berubah menjadi ajang pembalasan.
Padahal bukan kaum Salafy ghuluw saja yang menjadi benalu dalam tubuh ummat. Lebih parah dari itu ada, siapa lagi kalau bukan kaum sesat, kaum yang suka bubarin pengajian, merasa paling NKRI, paling Pancasilais, paling Nusantarais, hingga mengembel-embeli Islam mereka dengan istilah Islam Nusantara.
Tapi kesalahan kaum ngaNU yang suka bubarin pengajian, penggembos Syariat ini seolah tak tampak atau kalah pamor dibanding kesalahan-kesalahan Salafy. Hingga kekeliruan-kekeliruan mereka dalam beribadah pun tabu untuk dikritik atas nama ukhuwah / menghargai perbedaan. Oh indahnya perbedaan.
Bahkan jika ada ustadz-ustadz Aswaja dari kalangan garis lurus yang mengolok-olok aqidah Salafi (Salaf), para pengkritik ini diam saja. "Ah biasa itu, kan ustadz-ustadz Salafi duluan yang cari gara-gara!". Sebaliknya jika ada ustadz Salafy yang mengkritik keras keyakinan ustasz-ustasz Aswaja, maka pengritik langsung kompak nyerang gass poool. Oh indahnya moderat.
Mengkritik kesalahan kaum sesat lainnya itu tidak populer tapi mengkritik kesalahan Salafi itu mengasyikkan. Apalagi batin ini sudah lama tersakiti oleh dakwah-dakwah intoleran kaum Salafy yang merasa paling benar tersebut.
Kaum moderat, kaum yang paling merasa paling adil, paling toleran nyatanya juga tidak bersikap hikmah, tanpa disadari mereka juga memaksakan kehendak, tidak mau menerima perbedaan pendapat. Antara Salafy ghuluw dan kaum moderat tidak jauh beda, sama-sama ingin agar lawannya rujuk kepada pendapat mereka.
Masih belum hilang dari ingatan penulis, dulu punya teman penggiat dakwah di FB, beliau juga dari kalangan moderat. Dan beberapa kali beliau berselisih pendapat dengan para aktifis dakwah di kalangan moderat lainnya. Lihatlah apa jadinya, beliau dihujani kritik, dibully, sejumlah komentar yang tak berakhlak pun membanjiri status-status FB beliau. Beginikah katanya kaum yang moderat, yang menjunjung akhlak, yang katanya toleran, menerima perbedaan pendapat?
Terlalu banyak mengkritik jadinya mengeraskan hati. Hari-hari hanya fokus mencari-cari kesalahan orang. Jika ada kesalahan dari Salafy, begitu semangat like, share, copas. Tapi saat ada kesalahan dari kaum yang lain, ntar-ntar dulu lah.
Mari tanya di hati kita masing-masing, benarkah kritik dan nasehat yang kita sampaikan benar-benar untuk kebaikan atau hanya melampiaskan hawa nafsu yang semakin memperparah keadaan?
Bukan tak boleh mengkritik, tapi jangan lakukan terus menerus. Hingga anda dijuluki spesialis kritik Salafy. Dikhawatirkan postingan-postingan kritikan akan jadi santapan lezat para komentator fanatik buta yang awam, minus ilmu dan adab.
Apa tidak ada aktifitas yang lebih bermanfaat selain mengkritik? Alangkah lebih baik waktu banyak dihabiskan dengan share faedah/kebaikan dan membahas ilmu agama. Kebanyakan mengkritik maka hati akan keras, dikhawatirkan terjatuh kepada dosa (ghibah, celaan, dan lainnya). Seolah dirimu tanpa kesalahan terus mengkritik orang lain.
Lakukan kritik hanya sesekali, tapi mengena. Kalau sering-sering, orang juga jenuh dan bosan. Kalau memang yang dikritik/dinasehati tak terima, ya sudah, tak usah diteruskan. Tak usah diladeni lagi segala perkataannya. Sudah, putuskan saja pertemanan di medsos jika khawatir hati ini tak bisa menahan emosi melihat status-statusnya yang menurut anda nyeleneh.
Lebih baik berteman dengan orang yang sepemahaman, agar hati ini damai, adem dan tentrem. Bersinergi sajalah dengan yang sepemahaman, agar tak ada penyakit hati. Sekuat apa pun kita memaksa orang untuk rujuk dengan pemahaman kita, kalau orangnya tetap keukeuh, percuma saja. Buang-buang energi dan waktu. Biarkan mereka dengan keyakinan mereka, engkau juga begitu.
Mari hidup damai dan sehat...!!!!
Post a Comment
Post a Comment