Saya adalah warga Muhammadiyah, bergabung di organisasi memang belum lama, kurang lebih 9 tahunan (2013 atau 2014). Tapi saya sendiri sudah lama meyakini/mengamalkan aqidah Salafnya Muhammadiyah, karena keluarga saya sendiri adalah Muhammadiyah, dari mulai ibu, adik, mendiang kakak, paman, abang ipar, kakak sepupu, bibi-bibi saya, juga sepupu yang lainnya. Bahkan mendiang nenek saya merupakan ketua dari organisasi wanita Muhammadiyah (Aisyiyah). Keluarga besar bukan?
Dulu sekali ditempat tinggal saya yang pertama, sebenarnya sudah lama saya mengajukan permohonan agar bisa resmi jadi anggota Muhammadiyah. Tapi berkali-kali ditolak. Alasannya katanya belum cukup pengalaman. Kata salah satu pengurusnya:
"Jadi anggota Muhammadiyah itu ga gampang, harus ikut dulu pengajiannya secara rutin, harus berpatisipasi, harus loyal, dan bla..bla lainnya!"
Wuih, ribet ya jadi Muhammadiyah? Orang yang mau masuk Islam aja dipermudah. Cukup mandi, mengucap dua kalimat syahadat, sudah jadi orang Islam. Kok mau masuk organisasi aja dipersulit?
Yang gini ini membuat sikap kritis saya terusik. Sejak remaja memang saya terbentuk dengan pribadi kritis secara naluriyah. Hingga apa pun yang nyeleneh/melenceng dari yang seharusnya, saya selalu menolaknya. Inilah alasan kenapa baru sekarang saya bergabung di Muhammadiyah.
Walau belum lama bergabung tapi aktifitas Muhammadiyah seperti pengajian rutin, dakwah wisata, panitia Qurban, bahkan muktamarnya sudah lama saya ikuti. Maka dari sinilah saya tahu sedikit banyak karakter orang-orang Muhammadiyah di daerah saya.
Katanya yang minoritas itu eksklusif. Saya ga tahu apakah yang namanya minoritas itu selalu tampil eksklusif atau karena memang karakter pribadi individunya, tapi dua pengalaman saya membuktikan bahwa memang orang-orang Muhammadiyah di tempat saya terkesan eksklusif / terkesan tak ramah dengan orang-orang di luar kelompok mereka atau orang-orang yang baru bergabung di organisasi mereka.
Dua pengalaman yang saya maksud adalah dua tempat. Tempat pertama di rumah saya yang lama. Tempat yang baru ya sekarang ini. Nah di dua tempat ini saya merasakan berinteraksi dengan orang-orang Muhammadiyah.
Dua tempat tadi meski berbeda tapi pada dasarnya tetap sama. Yaitu sama-sama terkesan eksklusif. Perbedaannya hanya di levelnya saja.
Di tempat pertama
Disini memang level eksklusifnya sangat tinggi. Mungkin karena lingkungan kota. Jadi pergaulannya masih pilah pilih. Saat itu saya belum jadi anggota, masih dipaksa-paksa oleh ibu saya mengaji. Beliau sangat berharap saya masuk menjadi anggota Muhammadiyah. Sayanya mah malas, beneran.Saya mulai ikuti kajian Muhammadiyah di tempat ini sepekan sekali. Dasarnya memang saya uda malas karena dipaksa ibu gabung di Muhammadiyah, ditambah suasana yang tak mengenakkan saat di pengajian, jamaahnya cuek-cuek. Saya seperti berada di tempat yang asing, dimana penuh jamaah yang rata-rata sudah bapak-bapak semua 😀. Ya waktu itu saya sendiri yang masih muda.
Ga ada satu pun bapak-bapaknya yang ngajakin saya ngobrol saat menunggu ustadz datang. Mereka asyik dengan obrolannya. Beberapa kali saya ngaji, beberap kali saya dicuekin. Mungkin karena bukan orang penting. Tapi saya paksakan aja untuk hadir. Toh kita cuma dengerin ustadznya tausyiah. Abis ngaji langsung pulang.
Setiap ada acara di organisasi, saya coba untuk akrabkan diri. Saya salamin mereka, tapi mereka ga mau kasih senyum hangat, apalagi kasih duit. Kalau ketemu di jalan, para anggota/pengurus sering buang muka (muka cuma satu dibuang-buang, apa ga rugi). Padahal jalan yang kami lewati ga besar, tak mungkin mereka tak tahu kalau saya lewat. Ditempat yang pertama ini kejadiannya sekitar tahun 2000-an.
Pernah suatu ketika saat saya berkunjung ke rumah sang ketua ranting, saya ditanya beliau, apa hubungan saya dengan pak Anu? Saya jawab dia abang ipar saya. Beliau seperti terkejut, ga nyangka mungkin, saya yang gembel ini punya keluarga orang penting di Muhammadiyah. Abang ipar adalah kader dan juga termasuk jajaran pengurus Muhammadiyah. Wah, pas dengar punya keluarga orang penting, baru takjub.
Di tempat kedua
Tahun 2013 kami pindah tempat tinggal, dari hunian kota menuju ke luar kota (bisa dibilang kampung). Disini saya coba ubek-ubek dimana ada Masjid Taqwa Muhammadiyah. Setelah tanya-tanya akhirnya ketemu. Namanya Masjid Taqwa ranting Rengas Pulau. Saya coba cari tahu kapan jadwal kajian mingguan. Seperti di tempat pertama, kesan eksklusif masih saya rasakan. Saat pertama kali menghadiri pengajian disana (kalau saya ga salah), maklum sudah lama kejadiannya, tak ada jamaah yang menegur saya, padahal saya orang baru (belum menjadi anggota, belum dikenal). Seperti biasa, setiap menghadiri kajian, saya seolah seperti berada di tempat asing. Para jamaah duduknya berkelompok-kelompok. Saya ga tahu mau duduk dimana. Saya paksakan masuk ke kelompok salah satunya, tetap saya ga diajak ngobrol, mereka asyik dengan obrolannya. Ya udah main tunggal aja, sendirian. Setelah beberapa kali menghadiri pengajian, akhirnya saya paksakan membuka percakapan. Barulah mereka bertanya-tanya, saya darimana, rumahnya dimana, dan bla..bla lainnya.Tetap sama seperti ditempat yang pertama, saat saya ajak salaman, sebagian dari mereka menyambut tawar, bahkan sudah saya garamin tetap juga tawar. Wow begitu akrabnya.
Sedikit berbeda di tempat pertama, di tempat kedua walau pun sama-sama-sama tak mau menyapa duluan, tapi jika saya ajak mengobrol mereka mau merespon. Para petinggi dan anggotanya jika berpas-pasan di jalan mau menebar sapa dan senyum. Ya Alhamdulillah lah. Tapi perlakuan ekslusif itu tetap saja saya rasakan sampai sekarang. Padahal saya termasuk orang lama disini. Ekskusif oh eksklusif...
Mungkin anda berpendapat saya ini baper, kurang bergaul, kurang pintar beradaptasi?
Engga juga Bro, buktinya saat saya bersosialisasi dengan orang-orang pengajian di luar Muhammadiyah, saat saya shalat Masjid berjamaah, menghadiri acara syukuran, Tahlilan (sesekali), kesan eksklusif itu tidak saya rasakan. Mereka malah merangkul saya dengan ramah, ngajakin saya ngobrol. Padahal saya ga kenal mereka. Sungguh berbeda jauh. Saya masih ingat saat Idul Fitri, disalamin oleh salah satu jamaah disana. Padahal saya ga gitu kenal.Bukti yang lain, saat saya hadir di ranting Muhammadiyah lainnya, seperti di ranting Terjun Marelan. Sambutan hangat dan ramah saya dapatkan disana. Tidak seperti di ranting Rengas Pulau, di Terjun hanpir semua jamaahnya menyalami saya, bahkan mengajak bicara. Belum lagi sikap ketua rantingnya yang sangat merangkul. Padahal sebelumnya saya hanya sesekali hadir. Dari sini saya mengambil kesimpulan, kalau Muhammadiyah Terjun ini sikapnya bersahaja, sangat ramah terhadap orang lain yang ingin bergabung ke komunitas mereka.
Bukti lainnya lagi bahwa saya engga baper karena kesan eksklusif tadi, yaitu adanya curhatan jamaah baru kepada sang ustadz Muhammadiyah. Jamaah ini mengeluhkan akan sikap sombongnya warga Muhammdiyah terhadap warga baru. Dan sang ustadz dalam ceramah pengajiannya menegur para warga Muhammadiyah agar berlaku ramah dan merangkul kepada anggota yang baru masuk. Nah tuuuu...???
Memang tidak semua komunitas Muhammadiyah ini berlaku eksklusif. Ada cabang dan ranting lain yang bersahaja, ramah, menyambut hangat orang lain diluar komunitas mereka. Saya tak tahu apakah cabang/ranting yang ramah ini jumlahnya banyak atau sedikit. Sikap bersahabat dan merangkul itu sangat diperlukan agar orang-orang mau bergabung ke Muhammadiyah. Agar orang betah ngaji di Muhammadiyah.
Muhammadiyah walau katanya organisasi terbesar di negeri ini, tapi faktanya tetap saja masih minoritas. Ini dapat dilihat dari sedikitnya basis-basis Muhammadiyah ditiap daerah. Masjid-masjid Muhammadiyah hanya segelintir berlokasi di pinggir jalan-jalan utama/jalan besar, kebanyakan berlokasi didalam gang-gang kecil, yang mana nyaris tidak diketahui orang banyak. Dalam hal shalat pun, jamaahnya masih sedikit, terkadang tidak sampai 2 shaf. Bandingkan dengan masjid-masjid milik warga Al-Washliyah (Aswajanya Sumatra Utara), yang berlokasi di jalan besar, masjidnya megah, jamaahnya banyak.
Melihat fakta demikian, jelaslah kalau organisasi Muhammadiyah ini masih minoritas, dibutuhkan lebih banyak pengikutnya. Tapi bagaimanalah mau menambah jamaah, sedangkan sikap eksklusif masih juga dipelihara? Bagaimana orang mau tertarik mengaji di Muhammadiyah, kalau orang-orangnya sombong-sombong dan tak ramah.
Saya jadi teringat perkataan dari ketua Muhammadiyah ranting Terjun. Beliau pernah bilang, dia mendirikan ranting Muhammadiyah dari nol. Tak ada satu pun pendukung, beliau berjuang sendirian. Nyaris putus asa. Pada akhirnya beliau berhasil mengajak anak-anak muda dan orang tua untuk bergabung ke Muhammadiyah dengan senyum, keramahan dan merangkul. Beliau berhasil mendapatkan komunitas Muhammadiyah.
Dengan senyum ramah dan keakraban saja pun tidak mudah mengajak orang memeluk suatu keyakinan. Apalagi bersikap eksklusif, muka dingin, senyum tawar. Makanya tidak heran kalau jumlah jamaah dari tahun ke tahun hanya bertambah sedikit. Bagaimana mau menyiarkan sunnah?
Semoga ini menjadi PR bagi Muhammadiyah, jangan hanya menyemangati jamaah untuk berinfaq, jangan hanya berlomba-lomba membenahi masjid agar megah, jangan hanya berlomba-lomba mendirikan amal usaha. Benahi dulu sikap para jamaah agar orang-orang mau mengaji di Muhammadiyah. Rangkul orang-orang agar mau bergabung di Muhammadiyah. Tujuannya agar dakwah Tauhid dan Sunnah bisa diterima oleh orang banyak.
Ya semoga kedepannya, banyak jamaah dari Muhammadiyah yang menebar sapa dan senyum kepada yang diluar kelompoknya. Agar Muhammadiyah semakin banyak jamaahnya.
Post a Comment
Post a Comment