Namun fenomena bermudah-mudah dalam 'mengkafirkan' tersebut nampaknya tidak hanya dalam soal aqidah saja, melainkan juga dalam soal berbangsa, bernegara, bahkan berbudaya.
Beberapa tahun belakangan ini kita menyaksikan munculnya kelompok dan individu di masyarakat yang seolah menjadi 'polisi Pancasila', yang mana mereka merasa berhak secara sepihak menjustifikasi suatu kelompok adalah Pancasilais dan pro NKRI, sementara kelompok lain dituduh tidak Pancasilais, anti NKRI, intoleran, dan sebagainya.
Sebagai istilah, kita sebut saja para 'polisi Pancasila' itu dengan 'Pancasilais takfiri'. Mereka yang 'dikafirkan' dari Pancasila dan NKRI awalnya adalah kelompok-kelompok yang selama ini mengusung khilafah dan menolak realitas kebangsaan. Namun belakangan 'takfir' tersebut semakin meluas, tidak hanya berkaitan dengan penolakan terhadap Pancasila dan realitas kebangsaan, melainkan juga merembet ke soal fiqih dan kebudayaan.
Pelaku 'takfir kebangsaan' ini, tidak hanya didominasi oleh kalangan nasionalis - sekular, tetapi juga sebagian kalangan Islam. Bedanya, jika 'takfiri kebangsaan' dari kalangan nasionalis-sekular menjadikan kebudayaan sebagai pintu masuk untuk menuduh suatu kelompok itu tidak Pancasilais dan anti-NKRI, maka 'takfiri kebangsaan' dari kalangan Islam menjadikan masalah fiqih sebagai pintu masuknya.
'Pancasilais takfiri' dari kalangan nasionalis - sekular biasanya melakukan pembenturan kebudayaan lokal dengan syariat Islam. Yang paling umum biasanya mereka mempermasalahkan jilbab. Selain itu mereka juga menolak keras segala upaya konstitusionsl umat Islam dalam memperjuangkan berlakunya nilai-nilai dan syariat Islam.
Bagi 'Pancasilais takfiri' dari kalangan sekular, Islam adalah budaya asing, sehingga Islam harus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kebudayaan lokal. Mereka tidak tau dan tidak mau tau bahwa syariat dan budaya adalah dua hal yang berbeda.
Meskipun pandangan mereka seringkali inkonsisten, karena faktanya yang mereka permasalahkan hanya perkara-perkara yang berkaitan dengan Islam dan Arab. Contohnya, mereka menolak perpaduan jilbab-kebaya, namun tidak mau tau kalau kebaya itu sendiri merupakan pakaian yang mendapat pengaruh dari luar. Mereka juga mempermasalahkan gamis, sorban, hingga penggunaan istilah-istilah dari bahasa Arab, tetapi mereka tidak meributkan orang memakai jas, tank-top, atau istilah yang kebarat-baratan.
Adapun 'Pancasilais takfiri' dari kalangan Islam, biasanya mengangkat masalah-masalah fiqih, seperti soal cadar, memelihara jenggot dan celana cingkrang, yang semua terangkum dalam isu transnasional.
Dan meskipun 'Pancasilais takfiri' dari kalangan Islam secara umum tidak menolak upaya memperjuangkan syariat Islam secara konstitusional (kecuali elemen-elemen 'sepilis' yang menjadi penumpang gelap didalamnya) sebagaimana 'Pancasilais takfiri' dari kalangan sekular, namun mereka memainkan juga isu radikalisme untuk 'menggebuk' kelompok Islam lain yang secara umum bercirikan memelihara jenggot, bercelana cingkrang, kaum wanitanya bercadar, dan secara pemikiran banyak merujuk kepada jamaah Islam dari luar. Lalu dari isu radikalisme dan transnasional itu bergulir menjadi isu 'masjid radikal', 'kampus radikal', dan sebagainya.
Dan karena isu khilafah dan terorisme acapkali menjadi jualan penguasa, maka 'klop' lah, terjadilah simbiosis mutualisme antara penguasa dengan kelompok 'Pancasilais takfiri' ini. Lalu dipukul rata saja semua yang menjadi 'saingan dakwah' sebagai kelompok radikal, pro khilafah, HTI, dan sebagainya.
Dengan sokongan kekuasaan, berlagak lah mereka selayaknya 'polisi Pancasila', melabeli kelompok A radikal, kelompok B Pancasilais, lalu dengan alasan demi menjaga NKRI merasa berhak mempersekusinya kelompok lain yang menurut subjektifitasnya dianggapnya mengancam keutuhan NKRI, sebagaimana Amerika Serikat mengklaim diri sebagai 'polisi dunia', yang dengan seenaknya menuding negara A poros setan, negara B poros malaikat, lalu dengan dalih menjaga perdamaian dunia merasa berhak menginvasi negara lain yang dianggap ancaman.
Maka jika ada yang mengatakan bahwa kelompok yang menolak Pancasila dan paham kebangsaan adalah ancaman bagi keutuhan bangsa. Kita juga bisa mengatakan bahwa kelompok yang merasa paling Pancasilais itu juga sejatinya ancaman bagi keutuhan bangsa. Untuk itulah perlu dilakukan upaya-upaya moderasi, bukan hanya dalam dalam beragama untuk menghindari ekstremisme, namun juga dalam berbangsa dan bernegara agar tidak terjebak dalam chauvinisme.
(Faisal Rahman)
Post a Comment
Post a Comment