Ketika nabi Musa ‘alaihissalam sampai pada sebuah sumber mata air, dilihatnya banyak lelaki yang mengambil air untuk ternaknya.
Akan tetapi dibelakang mereka ada dua orang wanita yang menahan ternaknya untuk minum di tempat tersebut. Sehingga nabi Musa ‘alaihissalam bertanya tentang sikap mereka, kemudian mereka menerangkan bahwa mereka harus menunggu para lelaki selesai meminumkan ternak mereka. Karena biasanya ayahnya (wanita) yang mengambilkan minum untuk ternaknya sedangkan mereka tidak ingin bercampur baur dengan laki-laki.
Maka para ulama menyebutkan bahwa ini juga dalil bahwa tercelanya ikhtilath (campur baur).
Maka nabi Musa ‘alaihissalam menolong kedua wanita tersebut,
فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)
“Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”
(QS. Al-Qashash : 24)
Setelah menolong wanita tersebut, nabi Musa ‘alaihissalam bersandar pada sebuah pohon dalam keadaan sangat lapar, capek dengan perjalanan jauh dari Mesir, beliau berdoa kepada Allah
“Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku“.
Kata para ulama, nabi Musa ‘alaihissalam lapar dan meminta makan.
Demikianlah orang-orang yang mengenal Allah ﷻ. Mereka senantiasa menunjukkan kefakirannya di hadapan Allah. Semakin seseorang merasa butuh dengan Allah, maka akan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah ﷻ.
Sebagaimana hal nya nabi Musa ‘alaihissalam, diriwatkan juga para salaf tatkala mereka sujud, ada di antara mereka yang berdoa meminta makan kepada Allah ﷻ.
Oleh karenanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan sanad yang meskipun masih diperselisihkan,
لِيَسْأَلَ أَحَدَكُمْ رَبَهُ حَتَّى شِرَاكَ نَعْلِهِ
“Hendaknya salah seorang dari kalian meminta kepada Allah meskipun hanya untuk memperbaiki sendalnya.”
(Syarah Riyadh as-Shalihin 6/52)
Maka dari itu apapun keinginan kita, berdoalah kepada Allah.
Tidak heran kenapa nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak mengajari kita dengan doa.
Masuk pasar ada doanya, masuk rumah ada doanya, keluar rumah pun ada doanya.
Sehingga hati kita senantiasa terikat dengan Allah dan hati kita tahu bahwa tidak boleh kita menyerahkan segala urusan pada diri sendiri walau sekejap mata, melainkan menyerahkan segalanya kepada allah ﷻ.
Setelah nabi Musa ‘alaihissalam berdoa meminta karunia dari Allah, maka dikabulkanlah doanya.
Allah ﷻ berfirman,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (25)
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata:
“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami”.
Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), bapaknya berkata:
“Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu”
(QS. Al-Qashash : 25)
Nabi Musa ‘alaihissalam membantu kedua wanita tersebut tidak berniat mencari upah, akan tetapi wanita tersebut memberikan upah maka kata para ulama hal itu tidaklah mengapa.
Yang penting niat kita membantu bukan untuk mendapatkan upah, maka jika akhirnya diberikan upah maka tidak mengapa untuk diterima.
Kemudian sikap nabi Musa ‘alaihissalam yang menceritakan apa yang menimpa dirinya merupakan sikap yang benar.
Seseorang tatkala mengalami kesedihan dibolehkan menceritakan kesedihannya kepada orang lain, AKAN TETAPI HARUS KEPADA ORANG YANG TEPAT atau orang salih yang bisa memberikan nasihat.
Akan tetapi ada orang yang hanya mengadukan kesedihannya hanya kepada Allah sebagaimana nabi Ya’qub ‘alaihissalam,
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ (86)
“Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihan-ku.”
(QS. Yusuf : 86)
Akan tetapi ada juga orang yang mengadukan kesedihannya kepada manusia yang lain, hal ini dibolehkan dengan syarat bisa menemukan solusi sebagaimana nabi Musa ‘alaihissalam.
Kata para ulama, kata بَثِّي (kesedihan/kegelisahan) bermakna ter-pancarkan, yaitu tatkala seseorang merasa sedih ada rasa untuk ingin mengungkapkan untuk mengurangi bebannya.
Namun bukan berarti hal ini membolehkan seseorang untuk menceritakan seluruh masalahnya secara terus menerus, apalagi sampai menceritakannya ke media sosial.
Maka dari itu menceritakan masalah (curhat) kepada manusia harus kepada orang yang tepat.
Kemudian, salah satu dari wanita tersebut tertarik kepada nabi Musa ‘alaihissalam.
Allah ﷻ berfirman,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ (26)
“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”
(QS. Al-Qashash : 26)
Wallahu a’lam bisshawab.
Adapun penilaian wanita tersebut terhadap nabi Musa ‘alaihissalam mungkin karena melihat bagaimana dia (Musa ‘alaihissalam) dengan mudahnya membantu mengambil air dan penuh amanah membantu tanpa mengharapkan upah.
Akhirnya sang ayah dari wanita tersebut menawarkan nabi Musa ‘alaihissalam untuk menikahi salah satu putrinya.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ (27)
“Berkatalah dia (bapaknya):
"Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
(QS. Al-Qashash : 27)
Kata para ulama, ini juga merupakan dalil bahwa betapa agungnya akad pernikahan. Sampai-sampai nabi Musa ‘alaihissalam rela kerja delapan atau sepuluh tahun mengembala ternak untuk menunaikan maharnya, padahal dia adalah seorang nabi. Nabi Musa ‘alaihissalam pun menyetujuinya.
Akhirnya nabi Musa ‘alaihissalam bekerja dalam kurun waktu delapan atau sepuluh tahun.
Kata para ulama, setelah itu timbul kerinduan nabi Musa ‘alaihissalam untuk kembali ke Mesir membawa istrinya.
Nabi Musa mengira bahwa mungkin Fir’aun dan pasukannya telah lupa bahwa dia telah membunuh seseorang dari kaumnya sepuluh tahun yang lalu, sehingga timbul rasa rindu ingin pulang bertemu kerabatnya.
Allah ﷻ berfirman,
فَلَمَّا قَضَى مُوسَى الْأَجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لِأَهْلِهِ امْكُثُوا إِنِّي آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّي آتِيكُمْ مِنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ جَذْوَةٍ مِنَ النَّارِ لَعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ (29)
“Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan”
(QS. Al-Qashash : 29)
Ulama mengatakan bahwa pada waktu itu sedang musim dingin sehingga mereka mencari tempat untuk menghangatkan badan.
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الْأَيْمَنِ (30)
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah.”
(QS. Al-Qashash: 30)
Tatkala nabi Musa ‘alaihissalam menuju tempat asal api tersebut, ternyata nabi Musa ‘alaihissalam bertemu degan Allah ﷻ.
Maka dikatakan kepada nabi Musa ‘alaihissalam,
نُودِيَ يَا مُوسَى (11) إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى (12)
“Ia (Musa) dipanggil: “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompah(sandal)mu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa.”
(QS. Taha : 11-12)
Pada ayat ini Allah mengajarkan adab kepada nabi Musa ‘alaihissalam.
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى (13) إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي (14)
“Dan Aku telah memilih kamu (sebagai rasul), maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”
(QS. Taha : 13-14)
Dari sini Allah punya tugas besar yang Allah akan bebankan kepada nabi Musa ‘alaihissalam. Yaitu Allah menyuruh nabi Musa ‘alaihissalam untuk mendakwahi Fir’aun.
50 tahun setelah rencana Fir’aun untuk membunuh nabi Musa ‘alaihissalam, barulah Allah mengutus nabi Musa ‘alaihissalam untuk berdakwah kepada Fir’aun agar dia sadar.
Setelah itu Allah menyiapkan mukjizat kepada nabi Musa ‘alaihissalam agar menjadi bukti kerasulan beliau. Karena dikisahkan bahwa Fir’aun adalah orang yang pandai bersilat lidah dan provokator ulung.
Mukjizat yang Allah siapkan adalah dengan tongkatnya nabi Musa ‘alaihissalam.
Allah ﷻ berfirman,
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى (18)
“Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa. Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.”
(QS. Taha : 17-18)
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa kisah ini merupakan mukaddimah agar nabi Musa ‘alaihissalam tidak terkejut ketika melihat mukjizat yang Allah karuniakan kepadanya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman,
قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى (19) فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى (20)
“Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!* Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat.”
(QS. Taha : 19-20)
فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ (31)
“Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): “Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman”
(QS. Al-Qashash : 31)
قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى (21)
“Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula”
Ini merupakan serangkain kisah Allah melatih nabi Musa ‘alaihissalam terhadap mukjizat yang diberikan.
Jangan sampai dia mendatangi Fir’aun dalam keadaan tidak tahu apa yang akan terjadi dengan tongkatnya.
Ini merupakan mukjizat nabi Musa ‘alaihissalam yang pertama.
Mukjizat yang kedua, Allah ﷻ berfirman,
وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى (22)
“dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia ke luar menjadi putih bercahaya tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain.”
(QS. Taha : 22)
Sebagian orang Afrika menyatakan bahwa nabi Musa ‘alaihissalam memiliki kulit yang hitam, karena memiliki mukjizat tangannya putih.
Akan tetapi ini tidak melazimkan dan juga bukan dalil bahwa nabi Musa ‘alaihissalam berkulit hitam.
Akan tetapi mukjizat nabi Musa ‘alaihissalam adalah tangannya tampak putih setelah mengeluarkannya dari bawah ketiaknya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman,
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى (24)
(QS. Taha : 24)
Maka tatkala Allah memerintahkan nabi Musa ‘alaihissalam untuk menuju Fir’aun, beliau ketakutan. Nabi Musa ‘alaihissalam berkata,
قَالَ رَبِّ إِنِّي قَتَلْتُ مِنْهُمْ نَفْسًا فَأَخَافُ أَنْ يَقْتُلُونِ (33)
“Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.”
(QS. Al-Qashash : 33)
Kemudian meminta kepada Allah untuk diberi teman yaitu saudaranya nabi Harun.
Nabi Musa ‘alaihissalam berkata,
وَأَخِي هَارُونُ هُوَ أَفْصَحُ مِنِّي لِسَانًا فَأَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُصَدِّقُنِي إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُونِ (34)
“Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.
(QS. Al-Qashash : 34)
```Bersambung```
https://firanda.com
🖊 Ustadz Firanda Andirja
Post a Comment
Post a Comment